Berbagi Sebening Hati

Tuesday 31 May 2016

Tulisan almarhum Gus Dur Tentang Laksamana Cheng Ho



Laksamana itu Seorang Penyebar Agama
Menuliskan riwayat singkat Cheng Ho (Ma Zeng He) bukanlah kerja yang mudah. Pertama, ia dikenal oleh dua kalangan yang berbeda sebagai muslim dan non-muslim. Dari sudut kemuslimannya, ia adalah seorang dari jutaan orang manusia Tionghoa yang dulunya beragama Islam. Baru kemudian, masjid yang didirikannya lalu digunakan sebagai klenteng (Bio). Dalam sebuah buku berbahasa Prancis yang terbit beberapa tahun lalu, Quatorze Neuf Deux, dinyatakan bahwa ada lima buah kejadian besar yang mengguncangkan dunia. Buku itu menceritakan bahwa pada bahwa tahun 1492, Vasco Da Gamma mencapai kepulauan Bermuda di Amerika Tengah. Dari peristiwa itu, di kemudian hari akan menyusul gelombang datangnya orang-orang Eropa utara (terutama Inggris, Prancis dan Jerman) ke Benua Amerika.

Di samping mereka, ada juga orang-orang Spanyol dan Portugis, yang sekarang membentuk bangsa-bangsa yang hidup di Amerika Tengah dan Selatan. Kedua-duanya sekarang ini dimudahkan penyebutannya menjadi Amerika Latin. Begitu pula, tidak dapat dilupakan orang-orang hitam, yang untuk menghormati mereka disebut sebagai Afro-America, dahulunya bernama Negro. Di kemudian hari, datang juga ke Amerika Serikat para imigran dari Italia, disusul imigran dari berbagai daerah terutama Russia, Armenia, Yunani, dan Lebanon. Sedang dari arah barat datanglah orang-orang Jepang dan Tionghoa, dan abad yang lalu orang-orang India (terutama Bangalore Hyderabad). 

Manusia Indonesia sendiri hanya berjumlah puluhan ribu orang, dan tidak perlu dimasukan ke dalam komponen para pembentuk Amerika Serikat. Oleh sementara orang, kesemuanya itu disebut sebagai ‘panci adukan’ (melting pot), yang sekarang disanggah oleh sementara pihak.

Pada waktu itu, kaum Tionghoa muslim telah berkembang pesat, setidaknya di pantai utara pulau Jawa. Mereka segera ‘berhadapan’ dengan pihak-pihak berbagai agama yang sudah ada terlebih dahulu, seperti kaum Hindu-Budha, terkenal dengan sebutan kaum Bhairawa (sekarang juga disebut Birawa). Dengan meninggalkan Candi Prambanan dan Borobudur, kaum Hindu-Budha itu pindah ke Jawa Timur dari kawasan Klaten sekarang di bawah pimpinan Mpu Sindok dan menirikan Kerajaan Medang dengan raja terakhir bernama Dharmawangsa. Setelah Medang dihancukan Sriwijaya, keturunan Dharamawangsa yaitu Raja Erlangga mendirikan Kerajaan Kahuripan. Di akhir hayatnya Airlanga membagi dua Kahuripan menjadi Panjalu (Kediri) dengan ibukota Daha dan Jenggala beribukota di Kahuripan. Agama Hindu-Budha itu kemudian berkembang menjadi Kerajaan Singosari di sebelah utara Malang. Raja terakhirnya Prabu Kertanegara, mengambil menantu Raden Wijaya.

Ketika Raden Wijaya memberontak ia tidak mendirikan kerajaan di kawasan Gunung Bromo atau Pujon. Apa yang dilakukannya adalah mendirikan kerajaan baru di Terik, kawasan pinggiran sungai Brantas di daerah Krian. Dugaan penulis Terik adalah penyebutan lain dari kata Thariqah, artinya kalangan tarekat yang melaksanakan ajaran-ajaran tasawuf. Mengapakah mereka mendirikan Majapahit di Terik? Kemungkinan besar karena perlindungan angkatan laut Tiongkok yang sudah menjadi muslim itu. Raden Wijaya yang menurut penulis datang dari Marga Ui, memiliki penduduk beragama Islam dan agama Hindhu dan Budha. Kerajaan baru itu pada abad–abad berikutnya menampilkan Mpu Tantular dengan Negara Kertagama nya dengan slogan Bhinneka Tunggal Ika. Ini menunjukkan dengan jelas bahwa ia menyerap salah satu semangat bangsa ini yang sejak dahulu -setidaknya 8 abad yang lalu sudah memiliki pluralitas/kemajemukan yang tinggi.

Di samping kejadian di atas, sekitar penghabisan Abad XV dan permulaan Abad XVI, ada empat kejadian penting yang menentukan jalannya sejarah dunia di kemudian hari. Terlebih dahulu adalah terjadinya sikap mengalah dari sebuah kerajaan Islam di daerah Pantai Barat Afrika Tengah. Ketika itu, sebuah kapal layar Eropa mendarat di pantai kawasan tersebut. Ketika terjadi pertempuran senjata antara mereka melawan penduduk setempat maka para pelaut itu menggunakan senjata api untuk bertahan. Segera saja mereka yang bersenjata api -penduduk setempat menamai mereka sebagai setan dengan senjata berlidah api- menguasai kawasan itu, dan memaksa kerajaan Islam itu berpindah dari daerah pantai ke kawasan hutan di tengah-tengah benua Afrika.

Hal ketiga adalah ketika keluarga Borgia berhasil menjadikan salah seorang warga mereka menjadi Paus Alexander VI. Wangsa Borgia menggunakan uang, jabatan dan wanita untuk “mengangkat” warga mereka itu menjadi Paus. Hal ini menjadi salah satu penyebab perbedaan pandangan di antara Gereja Katholik dan sebagian para pemrotes yang kemudian dinamai kaum Protestan terlibat dalam perselisihan besar (skisma). Skisma/perpecahan antara Gereja Katholik dan Gereja Protestan akhirnya, membawa kepada perpecahan formal antara Gereja Katholik dan Gereja Protestan dalam bentuk berbagai sinoda.

Kejadian lainnya pada era itu adalah, ketika wangsa Kazimierski di Polandia memenangkan pertempuran atas wangsa Muscovit di Russia. Segera mereka harus memecahkan masalah apakah wangsa Muscovit boleh menggunakan bahasa Russia sebagai bahasa resmi, dan bukannya bahasa Polandia. Wangsa Kazimierski tersebut memutuskan bahasa Russia, dan bukannya bahasa Polandia sebagai bahasa nasional orang-orang Russia. Keputusan fundamental ini berakibat setengah abad kemudian orang-orang Russia kembali menggumpulkan kekuatan, dan berhasil mengalahkan bangsa Polandia. Apalagi setelah kaum komunis (Bolshevik) di bawah pimpinan V.I Lenin mendirikan partai komunis Uni Soviet (PKUS) menjelang tahun 1917.

Kejadian besar kelima yang merubah jalannya sejarah, terjadi ketika seorang Kaisar cilik diangkat menggantikan ayahnya yang baru saja meninggal dunia. Dan diangkatlah seorang wali negara, yang tadinya adalah menteri peperangan. Karena ia adalah seorang pemeluk agama Konghucu yang taat, maka ia sangat takut kepada kaum muslim di kawasan rantau (hoa kiau), yang umumnya sudah menjadi muslim. Begitu ia menjadi wali negara, maka diperintahkannya kapal-kapal laut kerajaan untuk kembali ke kawasan pesisir daratan Tiongkok dan dibakar.

Segera terputuslah segala jenis komunikasi antara kawasan Rantau tersebut dengan daratan Tiongkok. Penduduk rantau yang tadinya adalah kaum Tiongkok muslim, menjadi terserap sebagai penduduk bumiputra, dan angkatan laut Tiongkok, yang tadinya menguasai lautan antara pulau Madagaskar di kawasan timur Afrika dan Ascunsion di Pulau Tahiti (lautan Pasifik), juga menjadi penduduk bumiputra. Untuk dua abad lamanya hubungan antara kawasan-kawasan tersebut dengan daratan Tiongkok terputus sama sekali. Maka kejayaan Tiongkok itu lalu di klaim antara lain oleh Majapahit, dengan konsepnya yang sekarang dinamai persemakmuran (commonwealth). Cheng Ho pada permulaan abad ke-15, yang memimpin angkatan laut Tiongkok lalu harus melakukan ekspedisi laut tujuh kali saja, dan berakhir ketika ia meninggal dunia karena sakit di Kerala (India).


Kenyataan-kenyataan sejarah seperti ini memaksa kita untuk mengerti, bahwa dua abad berikut barulah orang-orang Belanda dapat mendatangkan orang-orang Tionghoa kemari. Mereka kemudian membawa agama Budha, Konghucu dan tentu saja agama Tao. Kemudian pemerintahan Orde Baru ‘menyatukan’ penganut Budha, Tao dan Konghucu dalam apa yang dinamakan kaum Tri Dharma, terutama dibawakan oleh Walubi (Perwalian Umat Buddha Indonesia). Bagaimana dengan jasa Cheng Ho? Setelah ia meninggal dunia di kawasan Kerala itu, kawasan-kawasan yang didirikannya lalu berkembang pesat, seperti Singapura. Dari sini ternyata, bahwa seseorang pemimpin dengan membawa peranannya yang besar, dapat menimbulkan perubahan-perubahan sangat besar dalam sejarah manusia. Sangat indah hal itu, bukan?

Sumber: Gus Dur
Share:

0 comments:

Post a Comment